Dengan adanya
perubahan dinamika politik dan sistem politik di Indonesia yang lebih
demokratis, memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme
politik yang dipandang lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal Desa Sumodikaran, hal ini
tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pilleg,
pilpres, pemillu kada, dan pemilu gub) yang juga melibatkan warga masyarakat desa secara
umum.
Khusus untuk pemilihan kepala desa Sumodikaran,
sebagaimana tradisi kepala desa di Jawa, biasanya para peserta (kandidat) nya
adalah mereka yang secara trah memiliki hubungan dengan elit kepala desa yang
lama. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat banyak di desa-desa bahwa
jabatan kepala desa adalah jabatan garis tangan keluarga-keluarga tersebut.
Fenomena inilah yang biasa disebut pulung –dalam tradisi jawa- bagi
keluarga-keluarga tersebut.
Jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta
merta dapat diwariskan kepada anak cucu. Mereka dipilih karena kecerdasan,
etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Kepala desa bisa
diganti sebelum masa jabatannya habis, jika ia melanggar peraturan maupun
norma-norma yang berlaku. Begitu pula ia bisa diganti jika ia berhalangan
tetap.
Karena demikian, maka setiap orang yang memiliki dan
memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam perundangan dan peraturan
yang berlaku, bisa mengajukan diri untuk mendaftar menjadi kandidat kepala
desa. Pada pilihan kepala desa Sumodikaran, tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi, yakni hampir 95%. di
tahun 2014 dalam pemilihan kepala desa Tercatat ada dua kandidat kepala desa
pada waktu itu yang mengikuti pemilihan kepala desa. Yaitu Hj. Khotimah dan
Heri Prasetyo. Pemilihan yang diadakan pada tanggal 9 februari 2014 lalu di
menangkan oleh Hj. Khotimah dengan 1.374 suara. Atau 69 % dukungan penduduk
desa Sumodikaran dengan demikian Hj. Khotimah diajukan untuk dilantik sebagai
Kepala Desa Sumodikaran 2014-2020 per 30 April 2014.
Setelah proses-proses politik selesai, situasi desa
kembali berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir
dengan kembalinya kehidupan sebagaimana awal mulanya. Masyarakat tidak terus
menerus terjebak dalam sekat-sekat kelompok pilihannya. Hal ini ditandai dengan
kehidupan yang penuh tolong menolong maupun gotong royong.
Walaupun pola kepemimpinan ada di Kepala Desa namun
mekanisme pengambilan keputusan selalu ada pelibatan masyarakat baik lewat
lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun lewat masyarakat
langsung. Dengan demikian terlihat bahwa pola kepemimpinan di Wilayah Desa Sumodikaran
mengedepankan pola kepemimpinan yang demokratis.
Berdasarkan deskripsi beberapa fakta di atas, dapat dipahami
bahwa Desa Sumodikaran mempunyai dinamika politik lokal yang bagus. Hal ini
terlihat baik dari segi pola kepemimpinan, mekanisme pemilihan kepemimpinan,
sampai dengan partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis
ke dalam kehidupan politik lokal. Tetapi terhadap minat politik daerah dan
nasional terlihat masih kurang antusias. Hal ini dapat dimengerti dikarenakan
dinamika politik nasional dalam kehidupan keseharian masyarakat Desa Sumodikaran
kurang mempunyai greget, terutama yang berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan
dan kepentingan masyarakat secara langsung.
Berkaitan dengan letaknya yang berada di wilayah Jawa
Timur suasana budaya masyarakat Jawa sangat terasa di Desa Sumodikaran.
Dalam hal kegiatan agama Islam misalnya, suasananya sangat dipengaruhi oleh
aspek budaya dan sosial Jawa. Hal ini tergambar dari dipakainya kalender Jawa/
Islam, masih adanya budaya nyadran, slametan, tahlilan, mithoni, dan lainnya,
yang semuanya merefleksikan sisi-sisi akulturasi budaya Islam dan Jawa.
Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap arus
informasi, hal-hal lama ini mulai mendapat respon dan tafsir balik dari
masyarakat. Hal ini menandai babak baru dinamika sosial dan budaya, sekaligus
tantangan baru bersama masyarakat Desa Sumodikaran.
Dalam rangka merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan
sosial, politik, agama, dan budaya di Desa Sumodikaran.
Tentunya hal ini membutuhkan kearifan tersendiri, sebab walaupun secara budaya
berlembaga dan berorganisasi adalah baik tetapi secara sosiologis ia akan
beresiko menghadirkan kerawanan dan konflik sosial.
Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah
terjadi bencana alam dan sosial yang cukup berarti di Desa Sumodikaran. Isu-isu terkait
tema ini, seperti kemiskinan dan bencana alam, tidak sampai pada titik kronis
yang membahayakan masyarakat dan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar